KEMBALI, kita belajar dari Muhammad Al Fatih. Anak kecil yang
disiapkan dengan cara yang tidak biasa agar menjadi generasi yang tidak
biasa.
Muhammad Al Fatih tidak hanya sekali ditegasi dengan pukulan. Di
tangan guru pertamanya, Ahmad bin Ismail Al Kurani, Muhammad Al Fatih
merasakan sabetan untuk pelajaran pertamanya. Sebagaimana yang telah
diamanahkan oleh sang ayah Murad II yang mengerti pendidikan, sang guru
tak segan-segan untuk melakukan ketegasan itu.
Sekali ketegasan untuk kemudian berjalan tanpa ketegasan. Tentu ini
jauh lebih baik dan diharapkan oleh setiap keluarga, daripada dia harus
tarik urat setiap hari dan menampilkan ketegasan setiap saat, karena
jiwanya belum tunduk untuk kebaikan.
Mungkin, Muhammad Al Fatih kecil kecewa saat dipukul. Sangat mungkin
hatinya terluka. Tapi pendidikan Islam tak pernah khawatir dengan itu,
karena Islam mengerti betul cara membongkar sekaligus menata ulang.
Semua analisa ketakutan tentang jiwa yang terluka tak terbukti pada
hasil pendidikan Muhammad Al Fatih.
Tapi ada pukulan berikutnya dari guru berikutnya. Pukulan kedua ini
yang lebih dikenang pahit oleh Muhammad Al Fatih. Kali ini pukulan
datang dari gurunya yang mendampinginya hingga ia kelak menjadi sultan;
Aq Syamsuddin.
Bukti bahwa ini menjadi ‘kenangan’ yang terus berkecamuk di kepalanya
adalah ketika Muhammad Al Fatih telah resmi menjadi sultan, dia
bertanya kepada gurunya:
“Guru, aku mau bertanya. Masih ingatkah suatu hari guru menyabetku,
padahal aku tidak bersalah waktu itu. Sekarang aku mau bertanya, atas
dasar apa guru melakukannya?”
Bertahun-tahun lamanya pertanyaan itu mengendap dalam diri sang
murid. Tentu tak mudah baginya menyimpan semua itu. Karena yang
disimpannya bukan kenangan indah. Tetapi kenangan pahit yang
mengecewakan. Karena tak ada yang mau dipukul. Apalagi dia tidak merasa
bersalah.
Kini sang murid telah menjadi orang besar. Dia ‘menuntut’ gurunya
untuk menjelaskan semua yang telah bertahun-tahun mengganggu kenyamanan
hidupnya.
Jawaban gurunya amat mengejutkan. Jawaban yang menunjukkan memang ini
guru yang tidak biasa. Pantas mampu melahirkan murid yang tidak biasa.
Jawaban yang menunjukkan metode dahsyat, yang mungkin langka
dilakukan oleh metode pendidikan hari ini. Atau jangan-jangan sekadar
membahasnya pun diharamkan oleh pendidikan hari ini.
Inilah jawaban Aq Syamsuddin,
“Aku sudah lama menunggu datangnya hari ini. Di mana kamu bertanya
tentang pukulan itu. Sekarang kamu tahu nak, bahwa pukulan kedzaliman
itu membuatmu tak bisa melupakannya begitu saja. Ia terus mengganggumu.
Maka ini pelajaran untukmu di hari ketika kamu menjadi pemimpin seperti
sekarang. Jangan pernah sekalipun mendzalimi masyarakatmu. Karena mereka
tak pernah bisa tidur dan tak pernah lupa pahitnya kedzaliman.”
Ajaib!
Konsep pendidikan yang ajaib.
Hasilnya pun ajaib. Muhammad penakluk Konstantinopel.
Maka, sampaikan kepada semua anak-anak kita. Bahwa toh kita tidak
melakukan ketegasan seperti yang dilakukan oleh Aq Syamsuddin. Semua
ketegasan kita hari ini; muka masam, cubitan, jeweran, hukuman, pukulan
pendidikan semuanya adalah tanaman yang buahnya adalah kebesaran mereka.
Teruslah didik mereka dengan cara pendidikan Islami. Kalau harus ada
yang diluruskan maka ketegasan adalah salah satu metode mahal yang
dimiliki Islam.
Semoga suatu hari nanti, saat anak-anak kita telah mencapai kebesarannya, kita akan berkata semisal Aq Syamsuddin berkata,
“Kini kau telah menjadi orang besar, nak. Masih ingatkah kau akan
cubitan dan pukulan ayah dan bunda sore itu? Inilah hari ketika kau
memetik hasilnya.”
Hari ini, saat masih dalam proses pendidikan, Anda pun bisa sudah bisa berkata kepada mereka,
“Hari ini mungkin kau kecewa, tapi suatu hari nanti kau akan mengenang ayah dan bunda dalam syukur atas ketegasan hari ini.”
inspiratif banget mas.nice post :)
ReplyDelete