Dakwah Pak Jenggot di Tengah Malam

share on facebook


Beginilah gaya Ustad Muhammad Zainul Jihad dalam berdakwah
Tak banyak dai yang peduli dengan dakwah di jalanan. Padahal mereka juga ingin hidup di jalan yang benar

MALAM kian larut. Udara di Kota Batu terasa menembus tulang. Namun, kondisi itu tidak mengurangi masyarakat memenuhi alun-alun Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Ada yang sekedar berjalan-jalan, ada juga yang duduk-duduk di warung kopi pinggir jalan sekitar alun-alun. Salah satunya Ustadz Jihad yang tengah menikmati kopi susu panas di warung kopi milik Cak Agus.

Lho, ustadz kok ikut nongkrong? Jangan salah sangka, meski nongkrong, ustadz asal Lombok ini bukan sekedar nongkrong tanpa arti. Ia mengaku dengan cara ini bisa melakukan dakwah kepada kalangan yang hidup di jalanan, seperti tukang parkir, pedagang, tukang koran, anak punk, sampai aparat intelijen yang ada di jalanan.

Menurut pemilik nama asli Muhammad Zaenul Jihad ini, komunitas jalanan ini jarang ada yang menyentuh. “Komunitas seperti itu jarang diselami oleh dakwah. Sementara mereka malu untuk mendatangi pengajian,” tutur Jihad.  Justru dengan mendatangi di tempat kumpul mereka, banyak hal yang mereka tanyakan.

Bahkan tidak hanya satu topik yang dibicarakan, bisa beragam topik. “Dari mulai sejarah nabi, aqidah, keluarga sampai pada hal-hal yang sifatnya sangat pribadi,” terang Jihad.

Pernah suatu waktu, ada seseorang di tempat tongkrongan bertanya. “Saya pernah ingin praktekkan apa yang dikatakan Ustadz, kalau mendengar azan harus dijawab karena nanti akan dibela Nabi Muhammad ketika di Yaumil Hisab. Tapi bagaimana kalau posisi saya di kamar mandi?”

Ada juga seorang preman yang mengaku menyetubuhi istrinya yang sedang haid. Katanya, “Ternyata malah banyak darah yang keluar. Saya ingin tobat Ustadz. Tapi bagaimana caranya?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang kerap dihadapi Jihad jika bersama “jamaah” jalanannya. Kata Jihad, mereka mengaku malu jika hal-hal seperti itu ditanyakan dalam forum pengajian. Tapi satu sisi, Jihad juga merasa bersyukur, karena dengan pertanyaan-pertanyaan itu, ia kembali belajar. “Kadang-kadang juga saya bertanya kepada Ustadz Hasan ketika masih hidup,” akunya. Ustadz Hasan adalah perintis Hidayatullah Batu yang kini telah meninggal dunia.

Begitulah Jihad jika berada di tempat tongkrongan. Tidak hanya sekedar ngopi. Tak heran ada orang kampung yang bilang, “Pak Jenggot iku ngopi mung rongewu, tapi nongkronge patang jam.” (Pak Jenggot itu ngopinya cuma dua ribu, tapi nongkrongnya empat jam).

Di kalangan anak-anak jalanan atau di tempat tongkrongan, Jihad kerap disapa Pak Jenggot. Ia memang membiarkan jenggotnya menjuntai panjang. “Menghidupkan sunnah,” katanya.

Jihad mengaku, pada kehidupan malam banyak menemukan orang-orang yang hendak bertaubat atas perbuatan yang pernah mereka lalui. “Hanya, banyak di antara mereka taubat dengan cara yang keliru,” jelas Jihad.

Dengan santai Jihad menjelaskan taubata menurut tuntunan Rasulullah SAW. “Harus punya niat kuat dan teguh tidak mengulangi perbuatan itu di kemudian hari. Salah satu tanda taubat diterima, kita sudah tak mau dengan perbuatan yang lama itu,” papar Jihad.

Jihad merupakan dai Hidayatullah yang bertugas di Batu sejak 2002. Lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Lukmanul Hakim Surabaya ini bertugas mengurusi pemeliharaan sarana dan prasarana milik Pesantren Hidayatullah. “Kalau tugas di pesantren sudah beres, selebihnya saya manfaatkan untuk dakwah keluar pesantren,” aku Jihad.

Ketertarikannya berdakwah di jalanan, bermula ketika Hidayatullah Batu dicurigai sebagai tempat persembunyian teroris. Saat itu ada orang yang masuk pesantren mengaku mau mencari rumput di hutan pinus belakang pesantren. Tapi anehnya, orang itu terlihat rapi, tidak seperti orang kampung yang biasa mencari rumput. Jihad curiga orang tersebut intel.

Saat ada kesempatan, ayah dua anak ini langsung menegur. “Anda dari kesatuan mana, Pak?” tanya Jihad. Orang itu kaget ditanya begitu, dan akhirnya mengaku. Jihad lalu minta KTP orang tersebut. Hingga akhirnya, mereka sepakat untuk bertemu di sekitar alun-alun.

Tiga hari kemudian, Jihad pun bertemu orang itu di alun-alun. “Ternyata memang banyak intel yang nongkrong di situ,” ujarnya. Dari situlah, Jihad mulai banyak berkenalan dengan berbagai kalangan, salah satunya Cak Ali, orangtua berambut putih yang sehari-hari sebagai tukang parkir di alun-alun.

“Orang Batu bilang, dia ini dulu mursal (rusak). Mantan bandit yang kini telah bertaubat,” jelas Jihad. Meski sudah lama kenal dan sering tanya soal agama, Jihad baru belakangan ini mengaku terus terang dirinya berasal dari pesantren.

Sejak itu, Jihad mulai dikenal di sekitar alun-alun. “Mulai ada yang ngajak saya nongkrong sama tukang koran, tukang tambal ban, tukang ojek, tukang parkir, dan lain-lain. Semua itu saya nikmati sebagai variasi dakwah,” kata suami dari Hanifah Rahmawati. Walhasil, saking banyaknya kalangan, dalam satu hari, Jihad bisa mendatangi alun-alun Batu dua kali dalam sehari. Jarak dari Pesantren Hidayatullah Batu ke alun-alun, jika ditempuh dengan sepeda motor, hanya makan waktu 10 menit.

“Kalau pagi, ba’da Shalat Subuh dan wirid saya langsung ketemu dengan teman-teman loper koran dan para pensiunan. Sementara malam, bertemu dengan tukang parkir, aparat, dan tukang kopi,” ulas Jihad soal jadwal nongkrongnya.

Ternyata bukan perkara mudah untuk mendapatkan kepercayaan dari “jamaah” di jalanan itu. Perlu waktu satu hingga tiga bulan untuk bisa mendekatinya. “Itu pun awalnya penerimaan mereka sangat sinis kepada saya. Tapi saya diam saja, dan coba ikut mengobrol,” kenang Jihad. Biasanya, ia memperhatikan orang-orang yang dianggap sering berada di situ dan dihormati. Maka, orang itulah yang secara intens ia dekati.

Majalah Hidayatullah sempat ikut nongkrong Jihad di sebuah warung kopi. Meski kelahiran Lombok, tapi logat Jawa Timurnya sudah cukup fasih. Walhasil, ini membuat Jihad cepat diterima oleh orang-orang asli Batu. Caranya berbicara dan mendekati, tidak membuat orang merasa digurui.

Seperti ketika Jihad mendekati pemuda yang sedang mabuk dalam sebuah hajatan yang menampilkan kesenian Tayub. Sambil bercanda, Jihad menyindir pemuda mabuk tadi, “Sudah taubat ta?”

“Wah, Sampeyan iki,” jawab pemuda mabuk itu.

“Lha iya, siapa tahu! Nanti kalau dibangunkan di dunia lain, apa Sampeyan siap,” tegur Jihad dengan santai. Dengan cara ini, alhamdulillah, sekarang pemuda itu merasa malu kalau ketemu Jihad.*

Read More..

No comments:

Post a Comment